Film fiksi Barat telah mempopulerkan kecerdasan buatan dan robot sebagai asisten serba bisa di segala bidang. J.A.R.V.I.S (Iron Man) dan Baymax (Big Hero 6) merupakan contoh kecerdasan buatan yang mampu menganalisis kesehatan tubuh manusia. Kemajuan di bidang teknologi telah melahirkan kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI), suatu simulasi kecerdasan yang dilakukan komputer yang menyerupai kecerdasan manusia sungguhan. Walaupun penggambaran AI dalam film terlihat sangat fantastis, namun secara realita, sejauh mana perkembangan AI di bidang kesehatan?
Artificial Intelligence merupakan cabang dari ilmu komputer yang berhubungan dengan rancangan dan pengembangan mesin pintar. Penerapan AI yang dapat berinteraksi seperti manusia disebut “general AI”. Saat ini, teknologi AI baru mencapai pelaksanaan tugas seperti manusia, sehingga disebut “narrow AI”. Kemampuan AI digunakan dalam berbagai tujuan seperti otomatisasi tugas, mengidentifikasi pola pada data dan mensintesis sumber informasi. AI telah banyak digunakan dalam aplikasi kesehatan seperti chatbot, skrining penyakit dan menstrual tracker.
AI bekerja dengan cara mengolah data dan pola data yang berasal dari rekam medis elektronik, aplikasi kesehatan dan wearable health trackers yang umum dikenal seperti Apple Watch. Data kemudian dianalisis untuk mendeteksi penyakit atau memberikan kesimpulan mengenai suatu kondisi tertentu. Digitalisasi rekam medis elektronik memungkinkan pembelajaran AI dan melakukan tugas seperti mendeteksi penyakit retina mata, kanker kulit dan nodul paru. AI cocok untuk menangani pekerjaan yang repetitif, mengolah data dalam jumlah besar dan memberikan dukungan dalam pengambilan keputusan untuk memitigasi kesalahan.
Wearable Health Tracker. Diambil dari : Rodrigues J, Segundo D, Junqueira HA, Sabino MH. Enabling Technologies for the Internet of Health Things. IEEEAccess. 2018. (99) : 1-1. Dikutip dari : https://www.researchgate.net/publication/322261039_Enabling_Technologies_for_the_Internet_of_Health_Things
Teknologi medis berbasis AI ini mengikuti model 4P kedokteran yaitu Prediktif, Preventif, Personal dan Partisipatif. Pasien terlibat dalam pemantauan kesehatan mereka sendiri. Contohnya pasien gagal jantung dapat menimbang berat badan dengan timbangan yang terkoneksi internet, dimana data BB ini digunakan oleh AI untuk menyesuaikan dosis obat dan memastikan pasien dengan perburukan gejala mendapatkan jadwal untuk konsul ke dokter. AI juga dapat mengingatkan pasien untuk melakukan pemeriksaan skrining penyakit, memberikan edukasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan, membuat rujukan dan membuat jadwal pertemuan untuk pemeriksaan.
Algoritma AI juga diterapkan di berbagai bidang kedokteran seperti radiologi, patologi, kardiologi dan bidang lainnya. Di bidang radiologi, keberadaan AI telah membantu dokter dalam mengidentifikasi dan mengenali pola dalam foto X-ray, CT scan, USG dan MRI dalam mengkarakterisasi temuan abnormal sehingga dokter radiologi dapat lebih efisien dalam mengevaluasi klinis dan menginterpretasi gambar.
Di bidang kardiologi, Apple Watch 4 juga disetujui FDA untuk merekam gelombang jantung dan deteksi fibrilasi atrium yang bisa dibagi dengan dokter keluarga melalui ponsel. Namun, masih ada keterbatasan dalam penggunaannya terutama karena angka positif palsu yang tinggi akibat gelombang artifak yang timbul dari adanya pergerakan saat rekam jantung dilakukan, dan tantangan penggunaannya pada lansia. AI juga digunakan untuk memprediksi resiko penyakit jantung koroner dan gagal jantung dengan mengolah data rekam medik elektronik.
Artificial Intelligence telah diterapkan pada bidang penyakit ginjal dan diketahui bermanfaat dalam memprediksi penurunan laju filtrasi ginjal pada penyakit ginjal polikistik dan menentukan resiko pada penyakit nefropati IgA. Pada spesialisasi gastroenterologi, dokter telah menggunakan AI deep learning untuk mengolah foto dari endoskopi dan USG (ultrasonografi) untuk mendeteksi struktur seperti polip usus, mendiagnosis GERD (Gastro-Esophageal Reflux Disease), gastritis, memprediksi perdarahan saluran cerna, pertahanan hidup dari kanker esophagus/kerongkongan, dan penyebaran kanker usus. Di bidang kanker, algoritma berbasis AI disetujui FDA mampu mendiagnosis kanker dari histologi/pemeriksaan sel komputasional dengan akurasi yang baik dan memungkinkan dokter ahli patologi untuk memfokuskan diri pada gambaran penyakit lainnya.
Pada tahun 2021, UGM (Universitas Gadjah Mada) telah mengembangkan breathalyzer COVID-19 berbasis AI yang populer dengan nama GeNose. Alat ini bekerja dengan mendeteksi volatile organic compound yang kemudian disesuaikan pola karakteristik COVID melalui machine learning. Akurasinya diklaim mencapai 93-94%, harga pemeriksaan yang murah dan metode pemeriksaan yang nyaman membuat GeNose sempat dijadikan sebagai alat skrining perjalanan.
Alat GeNose. Diambil dari : Panduan Operasi GeNose C19
Sayangnya, dibalik potensinya yang menjanjikan, AI memerlukan pengawasan yang ketat akibat performa yang inkonsisten. Inakurasi algoritma mempengaruhi pembuatan keputusan klinis suboptimal yang menimbulkan liabilitas dan kerugian pasien. Pemantauan berkesinambungan dan pelanggaran privasi berpotensi menimbulkan stigma bagi pasien penyakit kronis. Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa AI akan menggantikan peran dokter di masa depan.
Namun, mesin tidak memiliki kualitas kemanusiaan seperti empati dan kepedulian sehingga peran AI tetap terbatas dalam mendukung dokter dalam mendukung pelayanan kesehatan pada pasien. Beberapa universitas barat telah membuat kurikulum “augmented medicine” dalam mempersiapkan dokter di masa depan dalam menjawab tantangan AI di bidang kesehatan.
Penerapan AI di bidang kedokteran dan kesehatan sangat menjanjikan bersama dengan bidang kedokteran modern lain seperti telekonsultasi kedokteran presisi dan genomic. Kedokteran di masa depan akan semakin data dependent sehingga diperlukan sinergi antara kedokteran dan AI. Walaupun AI tidak menggantikan peran dokter dalam pelayanan kesehatan, penting bagi profesional medis untuk mempelajari fundamental teknologi AI serta solusi berbasis AI yang dapat membantu dalam memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi pasien.
Checkout our latest Nutrigenomic service: Find out how your genes affects your wellness!!
SUMBER
Ahuja AS. The impact of artificial intelligence in medicine on the future role of the physician. Peer J 7:e7702.
Briganti G, Le Moine O. Artificial Intelligence in Medicine ; Today and Tomorrow. Front Med. 2020 7:27
Kakadiaris IA, Liaw W. Artificial Intelligence and Family medicine : Better Together. Fam Med. 2020. 52(1):8-10
Maruthappu M. Artificial intelligence in medicine : current trends and future possibilities. Brit J Gen Prac. 2018 : 143-144
Pesapane F, Codari M, Sardanelli F. Artificial intelligence in medical imaging : threat or opportunity? Radiologist again at the forefront of innovation in medicine. Eur Rad Exp. 2018. 2 : 35.
Maliha G, Gerke S, Cohen IG, Parikh RB. Artificial Intelligence and Liability in Medicine : Balancing Safety and Innovation. Milbank Quarterly. 2021. 0 : 1-19
Nurputra DK, Triyana K, Sasongko TH. Riset : GeNose C19, hidung elektronikpendeteksi virus corona sensitivitasnya sebanding tes PCR. 2021 Feb 18th. Accessed from : https://theconversation.com/riset-genose-c19-hidung-elekronik-pendeteksi-virus-corona-sensitivitasnya-sebanding-tes-pcr-154828
Comentarios